
Ketika Imlek Dilarang Soeharto dan Dibebaskan Gus Dur
oleh: inggil History Thursday, 23 January 2020 10:00 a.m.
Mancode - Masih terngiang jelas bagaimana warga Tionghoa di Indonesia tidak bisa secara bebas memeringati Hari Imlek pada masa pemerintahan Soeharto. Sebagai masyarakat minoritas, mereka tidak bisa secara gamblang merayakan meriahnya Imlek selayaknya masyarakat muslim menikmati hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.
Ya, pada masa orde baru memang tingkat rasisme di Indonesia terhadap masyarakat ‘berparas China’ kerap terjadi. Hal ini semakin parah ketika Soeharto memerintahkan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, serta segenap badan dan alat pemerintah dari pusat hingga daerah untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.
Bisa dibilang pada 1960-an adalah masa-masa kelam warga etnis China yang tinggal di Indonesia. Banyak kejadian memilukan yang menjadi saksi sejarah minoritas di Indonesia saat itu.
Salah satu bukti tragedi masyrakat Tionghoa terjadi pada 1965. China yang saat itu menjadi negara komunis terbesar dianggap punya peran dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S). Ratusan hingga ribuan masyarakat Tionghoa kala itu menjadi korban karena dianggap komunis atau mata-mata Tiongkok. Bahkan, saat itu pula mayoritas warga Indonesia menganggap jika orang-orang China merupakan pemeras negara.
Kebencian terhadap warga Tionghoa pun semakin menjadi ketika Soeharto kala itu merilis surat edaran presidium Kabinet ampere No.6 Tahun 1967. Dalam surat edaran tersebut berisikan jika istilah ‘Tionghoa’ atau ‘Tiongkok’ mengandung nilai-nilai asosiasi psikopolitis yang berpotensi berdampak negatif bagi rakyat Indonesia.

Maka keputusan istilah ‘Tionghoa’ dan ‘Tiongkok’ tidak dipakai lagi dan diganti menjadi ‘Cina’. Soeharto pun meresmikan penyebutan istilah tersebut bagi mereka yang berasal dari etnis Cina atau warga keturunan Tionghoa.
Buku yang ditulis Yosef Purnama Widyatmadja berjudul Kebangsaan dan Globalisasi dalam Diplomasi (2005) menyebutkan jika tujuan Soeharto melakukan hal itu untuk menciptakan kebencian politik dan ras. Akibatnya, golongan keturunan Tionghoa rentan menjadi kambing hitam.
Tidak hanya berhenti disitu saja, kebijakan Soeharto yang merasa ‘benci’ dengan etnis Cina juga membuat beberapa kebijakan. Salah satunya, menutup sekolah-sekolah berbahasa pengantar China. Puncak dari rasisme rezim ini ialah saat dilarangnya perayaan Imlek. Sejak saat itu, tidak ada lagi ornamen-ornamen berwarna merah meramaikan jalanan. Bahkan, siaran-siaran radio yang kerap memutar lagu bahasa Mandarin juga dilarang.
Memang tidak sepenuhnya jika perayaan Imlek dilarang oleh Soeharto. Dalam Inpres No.14/1967 mereka yang ingin merayakan hari Imlek boleh saja asalkan diam-diam dan tidak dilakukan di tempat umum.
Namun, tetap saja suasana yang harusnya meriah menjadi kelam. Hal ini membuat masyarakat dengan keturunan Cina merasa asing di Indonesia, stigma negatif dari masyarakat pun juga terasa kental sekali. Seolah-olah warga lokal tidak ingin ada keturunan Cina di Indonesia.
32 tahun kekuasaan Soeharto di Indonesia dan kebenciannya terhadap etnis Cina akhirnya terhenti juga. Setelah masa reformasi orde baru dilakukan pada 1998 dan Soeharto menyatakan lengser lahirlah era reformasi. Hal ini juga menandakan tonggak bangkitnya era kebebasan berekspersi terutama bagi warga Tionghoa.

Masa-masa suram warga etnis Cina ataupun rasisme rezim akhirnya berakhir sudah ketika Presiden Habibie menerbitkan Inpres No.26/1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa. Pada isi Inpres tersebut penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Masa kepresidenan Habibie yang singkat itu pun dianjurkan oleh Abdurarahman Wahid (Gus Dur). Pada 2000, Gus Dur muncul sebagai sosok yang dinanti oleh warga Tionghoa seolah menjadi penyelamat negeri. Beliau membela hak komunitas Cina dengan konesep kebangsaan baru yang diperkenalkannya.
Inti dari konsep kebangsaan yang diatur oleh Gus Dur, yakni tidak ada lagi era rasisme minoritas. Sebab bagi beliau bangsa Indonesia dibentuk oleh perpaduan tiga ras yaitu Melayu, Astro-Melanesia, dan Cina. Bahkan, secara gamblang Gus Dur menyebut dirinya merupakan keturunan blasteran Cina dan Arab.

Kebebasan dalam melakukan perayaan adat tiap agama pun menjadi udara segar bagi warga Tionghoa. Mereka akhirnya bebas menggelar perayaan hari Imlek. Ornamen-ornamen berwarna merah dan pesta barongsai bisa dilakukan di jalanan tempat umum setelah menanti cukup lama selama 32 tahun.
Kemudian pada 2001, Menteri Agama saat itu mengelurkan Surat Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Sesuai peraturan itu, hanya warga beretnis Tionghoa saja yang diperbolehkan merayakan Imlek dan merasakan hari libur. Sementara, warga etnis lainnya tetap menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa.
Share To

inggil
Jan. 23, 2020, 10 a.m.
Berita terpopuler
ARTIKEL TERKAIT LAINNYA

East Ventures Bersama Kemenkes RI Luncurkan White Paper Soal Genomik
270 4 weeks ago
White paper ini hadir untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana genomik dapat memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia.

Jakarta Concert Week 2023 Siap Digelar
99 2 weeks, 6 days ago
Jakarta Concert Week 2023 mengusung kolaborasi spektakuler yang dikonsepkan untuk memenuhi kebutuhan hiburan dan gaya hidup yang sejalan dengan pecinta otomotif di Indonesia.

Slipknot Siap Guncang Hammersonic 2023
66 3 weeks, 1 day ago
Hammersonic 2023 dipastikan terselenggara pada 18 dan 19 Maret 2023 di Carnaval, Ancol, Jakarta, dan sebanyak 53 pengisi line up telah diumumkan.
YOU MAY ALSO LIKE
Technology 14 March 2023 7:00 a.m.
Para Tokoh Hadiri Soft Launching Nexus Ecosys Asia
Technology 10 March 2023 10:00 a.m.
Sony Luncurkan Dua Model Headphone Terbaru, WH-CH720N dan WH-CH520
Travel 9 March 2023 10:00 a.m.
Inspirasi Destinasi Liburan dan Budgetnya Versi Tiket.com
Travel 6 March 2023 8:00 a.m.