
4 Fakta Ekowisata yang Salah Kaprah Dipahami Traveler
oleh: galih Travel Monday, 25 October 2021 8:00 a.m.
Mancode - Ecotourism atau ekowisata tengah naik daun. Banyak traveler, baik di dalam maupun luar negeri yang kini menggemari aktivitas ekowisata. Dengan aktivitas ini, traveler bisa mengeskplor dan merasakan ketenganan di alam bebas.
Meski sedang begitu digemari, belum semua traveler memahami benar tentang ekowisata. Apa saja salah kaprah tentang ekowisata yang #MudaMudiBumi perlu ketahui?
1. Wisata Alam Pasti Ekowisata
Banyak di antara kita mungkin berpikir, jalan-jalan ke taman, kebun raya, air terjun, hutan, apalagi taman nasional, sudah pasti berkonsep ekowisata. Ternyata, tidak selalu begitu. memang betul bahwa ekowisata itu berwisata ke alam terbuka.
Tapi, ekowisata menyimpan pesan bahwa wisatawan juga ingin mendapat pengetahuan tentang alam, budaya, serta masyarakat lokalnya. Satu hal yang pasti, kegiatan sebagai wisatawan, maupun kegiatan yang dilakukan oleh pengelola tempat wisata, tidak merusak alam.
“Sekalipun hutan atau taman nasional, jika pengelolaannya mengganggu ekosistem, tempat itu tak bisa disebut destinasi ekowisata,” kata Diyah Deviyanti, Project Coordinator Hutan Itu Indonesia (HII)
Ada hal mendasar yang membedakan destinasi ekowisata dan tempat wisata secara umum, yaitu fasilitas pendukung. Di tempat wisata umum, meski menampilkan keindahan alam, biasanya terdapat bermacam fasilitas untuk mendukung kenyamanan pengunjung. Misalnya, toilet dan tempat makan. Diyah menyoroti, ketika membangun fasilitas tersebut, terkadang pengelolanya lupa memperhatikan ekosistem.
“Di destinasi ekowisata, Anda tidak akan menemukan fasilitas pendukung. Karena, tujuan ekowisata adalah melindungi kealamian suatu lingkungan, sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar. Kita bisa membantu kesejahteraan mereka dengan membeli produk buatan mereka, misalnya madu hutan, atau menggunakan jasa penduduk lokal sebagai guide,” kata Diyah.
2. Ekowisata Itu Murah
Sebagian orang mungkin berpikir, karena traveling ke alam, artinya tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menginap di hotel dengan fasilitas bagus atau untuk makan di restoran. Jadi, sudah pasti biayanya akan lebih murah daripada jalan-jalan ke kota.
Rupanya anggapan ini tak benar. Ekowisata justru cenderung memakan banyak biaya. Diyah mencontohkan, kalau suatu tempat wisata dibuka secara besar-besaran, tiket masuknya akan lebih murah. Sedangkan pada destinasi ekowisata yang jumlah pengunjungnya dibatasi, biayanya akan lebih tinggi.
“Pembatasan pengunjung penting dilakukan agar alam tidak rusak. Dampaknya, pemasukan pengelolanya juga terpengaruh. Dana ini bukan hanya untuk pengelola, melainkan disebar untuk berbagai aspek. Sebagian besar untuk pemeliharaan tempat, sebagian juga untuk kas pemberdayaan masyarakat,” kata Diyah.
Pertanyaannya, kalau alamnya dibiarkan alami dan tempat itu tak punya fasilitas yang perlu dirawat, mengapa perlu banyak dana untuk pemeliharaan? Diyah menjelaskan, justru karena tempat itu merupakan tempat alami, banyak orang bisa asal saja mengambil sesuatu dari hutan.
Misalnya, mengambil kayu. Agar hal seperti itu tidak terjadi, perlu ada penjaga hutan atau ranger. Ada pula yang bertugas untuk membersihkan jalur jalan, misalnya ketika ada pohon yang tumbang karena angin. Mereka akan memotong batang pohon, sehingga jalanan bisa dilewati oleh warga.
“Meski terbilang cukup mahal, pengalaman pergi ke area berkonsep ekowisata pasti akan sepadan dengan biayanya,” kata Diyah.
3. Aktivitas di Lokasi Ekowisata Tak Beda dari Tempat Wisata Umum
Di lokasi wisata berkonsep ekowisata, kamu juga bisa melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan. Diyah bercerita, ketika pergi ke Tangkahan, ia menemukan hutan yang masih sangat alami. Tidak dibuat apa-apa di dalamnya. Ada jalan setapak tanah yang kecil, tanpa dilapisi bebatuan. Di tengah hutan ia bertemu babi dan monyet. Di ujung hutan terdapat sebuah sungai.
“Kami kembali lagi ke perkampungan dengan duduk di ban, bukan speedboat. Jadi, tidak ada kegiatan yang merusak alam,” ungkap Diyah.
Bagi pengunjung, tersedia rumah-rumah ramah lingkungan yang dilengkapi toilet. Pengunjung bisa memilih akan menginap di bangunan yang sudah disediakan warga, atau homestay di rumah warga.
“Menginap di hutan juga bisa. Ada area yang bisa digunakan untuk membangun tenda, tanpa membuka lahan. Di area sungai sering kali ada area bebatuan yang bisa dijadikan lokasi kemping. Atau, ada sejumlah area lapang di bawah pepohonan,” kata Diyah.
4. Eco-friendly Traveling Sama dengan Ecotourism
Karena sama-sama ada kata ‘eco’, dan sama-sama mengandung unsur wisata, maka tak sedikit yang menyangka bahwa eco-friendly traveling sama dengan ecotourism. Sebenarnya tidak sama. Eco-friendly traveling lebih pada rasa kepedulian atau tanggung jawab sebagai traveler terhadap lingkungan.
Namun, Diyah melihat ada benang merah di antara keduanya, yaitu sama-sama peduli terhadap alam. Hanya, caranya saja yang berbeda. Ia mencontohkan perilaku eco-friendly traveling. Ketika kita pergi dengan pesawat, artinya ada jejak karbon yang cukup besar.
Maksudnya, ada karbondioksida dari pesawat yang dihasilkan dan berpotensi menyebabkan polusi. Kalau kita paham soal eco-friendly traveling, kita punya tanggung jawab untuk ‘mengganti’ pelepasan karbon tersebut. Salah satu caranya adalah mengadopsi pohon yang sudah cukup besar dan telah menghasilkan banyak oksigen.
Diyah juga menegaskan bahwa perilaku traveling ramah lingkungan wajib diterapkan saat berada di lokasi ekowisata. Saatnya #TimeforActionIndonesia bagi kita untuk bergerak.
“Jangan sampai lokasi yang sudah benar-benar dijaga malah dikotori oleh sampah. Jangan pula mengukir-ukir dan menulis sembarangan. Memang di destinasi ekowisata banyak sekali hal-hal yang sangat bagus. Saking bagusnya, tak sedikit yang tergoda untuk mengukir nama. Percuma datang ke destinasi ekowisata, kalau ujung-ujungnya merusak juga. Harusnya kedatangan kita membuat tempat itu tetap bagus dan lestari,” tutupnya.
Share To

galih
Oct. 25, 2021, 8 a.m.
Berita terpopuler
ARTIKEL TERKAIT LAINNYA

Aston Anyer Tawarkan Liburan Seru ala Maldives, Segini Harganya
28 2 days, 3 hours ago
Aquavilla mengusung konsep villa yang terletak di atas air laut, bak seperti di Maldives.

Nikmati Kuliner Mengugah Selera di Hotel Santika Premiere Bintaro
27 1 week, 4 days ago
Selama Mei 2023, hotel bintang empat ini hadirkan sajian kuliner spesial. Ada sajian Nusantara dan mancanegara.

Staycation di Hotel Santika BSD City – Serpong, Bonus Nonton Bioskop dan Karaoke
24 1 week, 4 days ago
Promo bundling “Maycation with Movie” cukup terjangkau. Dibanderol dengan harga Rp585.000/room/night.
YOU MAY ALSO LIKE
Technology 20 May 2023 11:00 a.m.
Infinix Gandeng ONIC eSports Jadi Official Gaming Smartphone Partner
Technology 13 May 2023 10:00 a.m.
Printer Canon Raih Penghargaan Indonesia WOW Brand 2023
Technology 5 May 2023 11:00 a.m.
Pentingnya Digitalisasi Guna Pemerataan Ekonomi Digital Indonesia
Technology 5 May 2023 9:00 a.m.